Di zamam pra-sejarah, manusia mengkomunikasikan pikiran, pengetahuan, dan gagasannya ke
lingkungan sosialnya secara verbal. Dan dalam beberapa kasus, dengan
menggunakan simbol-simbol material berupa ukiran pada batu, dinding gua, dan
lain sebagainya. Komunikasi tertulis yang mula-mula dikembangkan memungkinkan
informasi untuk disimpan dan dibaca oleh orang-orang lain di waktu-waktu
kemudian. Penyimpanan dan pengalihan informasi melalui teknologi umumnya
berlangsung secara lamban, mahal, dan membutuhkan banyak tenaga.
Dengan ditemukannya teknologi cetak ( printing technology ), informasi dapat
dialihkan ke lebih banyak orang, di wilayah yang lebih luas, dan dengan biaya
yang lebih murah. Di peralihan millennium sekarang ini, perkembangan media
elektronik, mencakup radio, televise, dan telepon, telah memungkinkan penurunan
waktu pengalihan informasi secara dramatik.
Jarak geografis kini tidak lagi menjadi penghalang dalam proses
komunikasi dan pertukaran informasi. Biaya penyimpanan dan pengantaran
informasi secara elektronik kini telah semakin banyak ditentukan oleh kebijakan
public, ketimbang oleh faktor-faktor teknikal semata. Misalnya, harga pusa
telepon lebih terkait dengan kebijakan regulasi public dari pada harga actual
yang dibutuhkannya.
Komputer-komputer digital dan media penyimpanan informasi berskala besar dan
missal telah memungkinkan terwujudnya basis data dengan kemampuan untuk
memproses dan memanipulasi informasi. Tidak dengan informasi tertulis, data
yang tersimpan secara elektronik ini ‘ tak tampak ‘ bagi mata biasa, kecuali
bagi perangkat keras dan lunak untuk melakukan decoding ( seperti komputer
dengan kartu baca magnetic ).
Teknologi pemrosesan data secara elektronik ini bersama dengan teknologi
komputer digital telah menghasilkan sebuah aliansi sinergis baru yang dikenal
luas sebagai teknologi informasi, atau Teknologi Telematika. Ruang , waktu, dan
biaya secara berangsur-angsur direduksi melalui aplikasi-aplikasi tekonologi
komputer, penyimpanan missal, dan transmisi elektronikal dan optial.
Pengontrolan informasi dalam rangka teknologi seperti ini menjadi lebih
terdistribusi ketimbang sebelumnya. Dan peranan-peranan pemerintah, agen-agen
komersial, pengusaha-pengusaha swasta menjadi lebih sulit untuk dimengerti.
Sehubungan dengan uraian terebut di atas tentang telematika, maka kami akan
membahas
Perkembangan
Telematika di Indonesia.
Perkembangan Telematika Di Indonesia
Peristiwa
proklamasi 1945 membawa perubahan yang bagi masyarakat Indonesia, dan sekaligus
menempatkannya pada situasi krisis jati diri. Krisis ini terjadi karena
Indonesia sebagai sebuah negara belum memiliki perangkat sosial, hukum, dan
tradisi yang mapan. Situasi itu menjadi ‘bahan bakar’ bagi upaya-upaya
pembangunan karakter bangsa di tahun 50-an dan 60-an. Di awal 70-an, ketika
kepemimpinan soeharto, orientasi pembangunan bangsa digeser ke arah ekonomi,
sementara proses – proses yang dirintis sejak tahun 50-an belum mencapai
tingkat kematangan.
Dalam latar belakang sosial demikianlah telekomunikasi dan informasi, mulai
dari radio, telegrap, dan telepon, televise, satelit telekomunikasi, hingga ke
internet dan perangkat multimedia tampil dan berkembang di Indonesia. Perkembangan
telematika penulis bagi menjadi 2 masa yaitu masa sebelum atau pra satelit dan
masa satelit.
1. Masa Pra-Satelit
Radio dan Telepon
Di periode pra satelit (sebelum tahun 1976), perkembangan teknologi komunikasi
di Indonesia masih terbatas pada bidang telepon dan radio. Radio Republik
Indonesia (RRI) lahir dengan di dorong oleh kebutuhan yang mendesak akan adanya
alat perjuangan di masa revolusi kemerdekaan tahun 1945, dengan menggunakan
perangkat keras seadanya. Dalam situasi demikian ini para pendiri RRI
melangsungkan pertemuan pada tanggal 11 September 1945 untuk merumuskan jati
diri keberadaan RRI sebagai sarana komunikasi antara pemerintah dengan rakyat,
dan antara rakyat dengan rakyat.
Sedangkan telepon pada masa itu tidak terlalu penting sehingga anggaran
pemerintah untuk membangun telekomunikasipun masih kecil jumlahnya. Saat itu,
telepon dikelola oleh PTT (Perusahaan Telepon dan Telegrap) saja. Sampai
pergantian rezim dari Orla ke Orba di tahun 1965, RRI merupakan operator
tunggal siaran radio di Indonesia. Setelah itu bermunculan radio – radio siaran
swasta. Lima tahun kemudian muncul PP NO. 55 tahun 1970 yang mengatur tentang
radio siaran non pemerintah.
Periode awal tahun 1960-an merupakan masa suram bagi pertelekomunikasian
Indonesia, para ahli teknologi masih menggeluti teknologi sederhana dan “kuno”.
Misalnya saja, PTT masih menggunakan sentral-sentral telepon yang manual,
teknik radio High Frequency ataupun saluran kawat terbuka (Open Were Lines).
Pada masa itu, banyak negara pemberi dana untuk Indonesia – termasuk pendana
untuk pengembangan telekomunikasi, menghentikan bantuannya. Hal itu karena
semakin memburuknya situasi dan kondisi ekonomi dan politi di Indonesia.
Tercatat bahwa pada masa 1960-1967, hanya Jerman saja yang masih bersikap setia
dan menaruh perhatian besar pada bidang telekomunikasi Indonesia, dan
menyediakan dana walau di masa-masa sulit sekalipun. Ketika itu pengembangan
telekomunikasi masih difokuskan pada pengadaan sentra telepon, baik untuk
komunikasi lokal maupun jarak jauh, dan jaringan kabel. Indonesia saat itu
belum memiliki satelit. Sentral telepon beserta perlengkapan hubungan jarak
jauh ini diperoleh dari Jerman. Pada saat itu, Indonesia hanya dapat membeli
produk yang sama, dari perusahaan yang sama, yakni Perusahaan Jerman. Tidak ada
pilihan lain bagi Indonesia.
Keleluasaan barulah bisa dirasakan setelah di tahun 1967/1968 mengalir
pinjaman-pinjaman ke Indonesia, baik bilateral ataupun pinjaman multilateral
dari Bank Dunia, melalui pinjaman yang disepakati IGGI. Akan tetapi, pada masa
inipun inovasi dalam pemfungsian teknologi telekomunikasi masih belum
berkembang dengan baik di negeri ini. Peda dasarnya kita memberi dan memakai
perlengkapan seperti switches, cables, carries yang sudah lazim kita pakai
sebelumnya.
Televisi
Badan penyiaran televisi lahir tahun 1962 sebelum adanya satelit yang semula
hanya dimaksudkan sebagai perlengkapan bagi penyelenggara Asian Games IV di
Jakarta. Siaran percobaan pertama kali terjadi pada 17 Agustus 1962 yang menyiarkan
upacara peringatan kemerdekaan RI dari Istana Merdeka melalui microwave. Dan
pada tanggal 24 Agustus 1962, TVRI bisa menyiarkan upacara pembukaan Asian
Games, dan tanggal itu dinyatakan sebagai hari jadi TVRI.
Terdorong oleh inovasi, akhirnya pada tanggal 14 November 1962 untuk pertama
kalinya TVRI memberanikan diri melakukan siaran langsung dari studio yang
berukuran 9x11 meter dan tanpa akustik yang memadai. Acaranya terbatas, hanya
berupa permainan piano tunggal oleh B.J. Supriadi dengan pengaruh acara Alex
Leo.
Lebih setahun setelah siaran pertama, barulah keberadaan TVRI dijelaskan dengan
pembentukan Yayasan TVRI melalui Keppres No. 215/1963 tertanggal 20 oktober
1963. Antara lain disebutkan bahwa TVRI menjadi alat hubungan masyarakat (mass
communication media) dalam pembangunan mental/spiritual dan fisik daripada
Bangsa dan Negara Indonesia serta pembentukan manusia sosialis Indonesia pada
khususnya.
Sampai tahun 1989, TVRI merupakan operator tunggal di bidang penyiaran
televise.
Jadi sebelum satelit palapa mengorbit, Indonesia hanya mengenal telekomunikasi
yang bersifat terestrial, yakni yang jangkauannya masih dibatasi oleh lautan.
Telekomunikasi seperti ini tidak bisa menjangkau pulau-pulau kecuali melalui
penggunaan SKKL (Saluran Komunikasi Kabel Laut) yang mahal dan sulit
dipergunakan.
2. Masa Satelit
Satelit Domestik Palapa
Gagasan tentang peluncuran satelit bagi telekomunikasi domestik di Indonesia
bisa ditelusuri asal muasalnya dari sebuah konferensi di Janewa tahun 1971 yang
disebut WARCST (World Administrative Radio Confrence on Space
Telecomunication).
Pada konferensi itu di tampilkan pila pameran dari perusahaan raksasa pesawat
terbang Hughes. Perusahaan inilah yang mengusulkan ide pemanfaatan satelit bagi
kepentingan domestik Indonesia. Hal tersebut disambut oleh Suhardjono yang
berlatar belakang militer dan membawa masalah satelit itu sampai ke Presiden
RI.
Selain pertimbangan kelayakan ekonomi dan teknis, sejarah peluncuran satelit
ini juga diwarnai oleh kepentingan politik dimana hubungan antara Indonesia
dengan negara- negara lain sudah mulai bersahabat. Di sisi lain, satelit
memungkinkan penyebaran luas ideologi negara ke masyarakat luas melalui TV,
satelit juga menguntungkan secara ekonomi.
Komunikasi tentang cara-cara menggali sumber daya alam dapat berlangsung dengan
mudah. Ini berlaku untuk kasus tembaga pura (Freeport) dan di Dili. Peluncuran
satelit Palapa di Cape Canaveral, Florida, bulan Agustus 1976 pada panel
peluncuran terdapat 3 orang Indonesia dan perwakilan dari perusahaan NASA dan
Hughes.
Kejadian ini diresmikan juga melalui pidato kenegaraan oleh presiden Soeharto
di Jakarta, tanggal 16 Agustus 1976. ini merupakan satu- satunya proyek
teknologi yang mendapat tempat terhormat di gedung Parlemen. Namun peluncuran
satelit itu merupakan kebijakan nasional yang gagasan awalnya dicetuskan oleh
pemerintah.
Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Indonesia pernah mengalami ancaman
perpecahan. Untuk mempersatukan tanah air yang sangat luas ini diperlukan
sarana perhubungan yang mencakup seluruh wilayah nusantara. Proses kelahiran
satelit ini hanya melibatkan sedikit teknokrat dan teknolog yang berpihak pada
kepentingan Orba.
Dampak Setelah Adanya Satelit Palapa
Dengan semakin bergantungnya Indonesia pada teknologi satelit, muncullah
sejumlah perusahaan yang bergerak dalam produksi perlengkapan terkait, seperti
RFC (milik Iskandar Alisjahbana), LEN (milik Kayatmo), PT. INTI. Setelah
periode itu, aspek bisnis di dunia telekomunikasi mencuat. Inovasi lebih banyak
terjadi pada penyediaan layanan, sementara pengembangan teknologi untuk
komponen berkurang.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat di tahun 1988 membuat kebutuhan telekomunikasi
melonjak secara drastis. Untuk memenuhi kebutuhan telepon yang melonjak,
disadari pemerintah perlunya perubahan regulasi, yang kemudian membuahkan UU
no. 3 tahun 1989 tentang pengertian telekomunikasi yang diperluas hingga
mencakup alat pengiriman data seperti facsimile dan telex, dan lain-lainnya.
Sebelum lahirnya UU ini, Telkom dan Indosat disebut sebagai badan penyelenggara
telekomunikasi yang menyediakan seluruh jejaring dan layanan jasa. Dampak
positif dari berlakunya UU tersebut adalah mulai masuknya pihak-pihak swasta
dengan modal yang besar, walaupun dalam skala usaha yang terbatas.
Mereka datang dengan membawa teknologi baru, tenaga ahli, manajemen yang baru.
Ini semua kemudian menciptakan iklim usaha yang baru dalam penyelenggaraan
telekomunikasi di Indonesia. Dengan terlibatnya pihak asing dalam pengadaan
dana, teknologi dan menejemen, perkembangan teknologi telekomunikasi berkembang
dengan pesat. Hal ini terjadi sekitar tahun 1990-an dan dampaknya terlihat
mulai tahun 1991 khususnya terlihat jelas bahwa jangkauan telekomunikasi di
Indonesia menjadi bertambah luas.
Perkembangan teknologipun berkembang pesat, mulai dari pesawat telepon manual
ke otomatis, dan dari analog menjadi digital. Pada gilirannya perkembangan ini
menuntut adanya pengaturan infrastruktur dan standarisasi peralatan. Tak lama
kemudian masuklah teknologi mobile-telecommunication.
Berkembanglah pemakaian handphone yang bardampak tumbuhnya usaha-usaha yang
tidak hanya menyediakan layanan atau jejaring saja, melainkan juga membangun
pabrik-pabrik dalam upaya pemenuhan kebutuhan akan kabel. Menarik untuk dicatat
bahwa di era serbuan bisnis telekomunikasi itu, ternyata kaidah dan aturan
bisnis professional tidak sepenuhnya diikuti.
Sementara itu faktor politik tampaknya justru mengambil peranan penting. Kala
itu terjadi campur tangan bisnis dari “Keluarga Cendana” yang mengambil peranan
sebagai mitra bisnis PT Telkom dan Indosat yang kemudian diikuti oleh
krono-kroni mereka seperti Liem Sio Liong melalui “Sinar Mas”- nya dan
lain-lain. Di era emas telekomunikasi itu, tumbuh dorongan kuat agar Bank
Indonesia membuka pintunya lebar-lebar bagi pihak swasta asing.
Bahkan mereka menginginkan adanya privatisasi Telkom dan Indosat dalam
penyelenggaraannya. Dampak dari dorongan ini mencuatnya pandangan bahwa
regulasi yang ada sudah tidak memadai lagi. Di sekitar tahun 1996, mulailah
disusun rencana untuk meninjau kembali UU No. 3 tahun 1989.
Beberapa hal yang diperhatikan dalam review ini adalah :
1. Perkembangan teknologi tahun 1995-1996 itu berbeda sekali dengan di tahun
1990. ini terutama terjadi akibat konvergensi teknologi, sebagai fungsi dari
berbagai jenis jasa berubah dan timbul jasa-jasa baru yang perlu
diakomodasikan. Konvergensi teknologi bahkan memungkinkan teknologi dipadu
dengan broadcasting, sehingga timbullah telematika, teleinformatika, teknologi
informasi dan lain-lain yang menuntut kebijakan dan peraturan yang baru.
2. Perkembangan teknologi informasi dan broadcasting itu ternyata tidak hanya
berpengaruh pada masalah politik, dalam artian berita, tetapi juga iklan yang
sangat berpengaruh dalam dunia bisnis. Lebih jauh lagi dengan berkembangannya
telebanking, telekumunikasi sebelumnya dilihat hanya sebagai public utility,
kini berubah menjad bisnis opportunity.
3. Globalisasi ekonomi menciptakan suasana kompetisi yang semakin ketat. Ini
menuntut penyelenggaraan telekomunikasi dengan kualitas layanan yang semakin
tinggi.
Setelah satelit Palapa mengorbit, jangkauan telekomunikasi Indonesia bisa
meliputi seluruh nusantara, dan bahkan ke luar wilayah nusantara. Satelit
telekomunikas itu kemudian bisa dimanfaatkan bukan untuk telepon tetapi juga
untuk berbagai macam keperluan lain seperti, pengiriman facsimile, telex, dan
pengiriman berbagai informasi dalam bentuk lain termasuk broadcasting. Setelah
perkembangan itu semua terwujud, masyarakat melihat pentingnya peranan
telekomunikasi bagi kehidupan suatu bangsa.
Nusantara 21
Perkembangan satelit dipacu lebih lanjut dengan diresmikannya “Nusantara 21”
(N21) oleh presiden RI pada tanggal 27 Desember 1996. Menggelindingnya N21
menjadi masukan utama untuk pembentukan Tim koordinasi Telematika Indonesia
(TKTI) melalui Kepres No. 30 tahun 1997. Tugas TKTI menurut Inpres No.6 tahun
2001 tentang pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia adalah :
(1) Mengkoordinasikan perencanaan dan memelopori program aksi dan inisiatif
untuk meningkatkan perkembangan dan pendayagunaan teknologi telematika
Indonesia serta memfasilitasi dan memantau pelaksanaannya,
(2) Memperkuat kemampuan menggalang sumber daya yang ada di Indonesia guna
mendukung keberhasilan pelaksanaan semua arah pengembangan dan pendayagunaan
teknologi telematika, melaksanakan forum untuk membangun consensus antar
pihak-pihak terkait di sector pemerintah dan swasta, serta akses mengakses
pengalaman internasional dalam mengembangkan sistem infrastruktur infomasi
nasional.
Tim ini diketuai oleh Menko Produksi Industri Strategis (Ginanjar
Kartasasmita), wakil ketua Menparpostel, beranggotakan tujuh menteri departemen
(Menkeu, Menhankam, Menpen, Mendagri, Menperindag, Menaker, dan Mendikbud)
serta lima menteri negara (Mensesneg, Menristek, MenPAN, Menivest, Men-PPN).
Visi N21 adalah menyediakan wahana berbasis teknologi telekomunikasi dan
informatika nasional di dalam proses transformasi bangsa Indonesia dari
masyarakat tradisional (traditional society) menjadi sebuah masyarakat yang
berwawasan IPTEK dan berbasis pengetahuan (knowledge based society).
Konsep N21 merupakan jawaban atas tantangan globalisasi komunikasi dan
informasi berupa jaringan komunikasi terpadu. N21 menggunakan kerangka
pendekatan, antara lain, (a) Memanfaatkan semua teknologi yang dapat mendukung
pembangunan di semua sektor; dan (b) membentuk suatu jaringan maya informasi
atau adi marga informasi (virtual information network atau anformation
superhighway) yang menghubungkan seluruh pelosok tanah air.
Dengan dikembangkannya N21 maka pada tahun 2000 atau memasuki abad 21 seluruh
kecamatan di Indonesia akan mempunyai akses ke semua teknologi komunikasi dan
computer (K-2) dalam suatu jaringan terpadu yang didukung oleh 11 sistem satelit
komunikasi. Sekarang ini baru ada tiga sistem satelit yang beroperasi, yaitu
PSN dengan Palapa 1. telkom dengan Palapa B4 dan B 2R, dan satelindo dengan
Palapa C 1 dan C 2. Pengembangan infrastruktur fiik mengandung tiga kemungkinan
penggunaan, yaitu : (1) Adiguna Marga Kepulauan (Archipelagic Super Highway),
(2) Kota Multimedia (Multimedia Cities); dan (3) Nusantara Multimedia Community
Acces Centers ( Pusat Akses Masyarakat Multimedia Nusantara).
Tim Koordinasi Telematika Nasional secara paripurna merumuskan cetk biru
pengembangan telematika yang mencakup tiga kelompok utama, yaitu infastruktur,
aplikasi, dan sumber daya.
1. Infrastruktur
Menurut Jonathan L.Parapak (Presiden komisaris PT.Indosat) dalam
http://www.bogor.net, perkembangan infrastruktur ini dipengaruhi oleh banyak
faktor, antara lain kebijakan nasional sector telekomunikasi, regulasi sector,
kondisi ekonomi makro, kemampuan para pelaku nasional. Pada tatanan kebijakan
patut dicatat beberapa kemajuan yang sangat penting, antara lain diundangkannya
UU tentang Telekomunikasi no. 36 tahun 1999 dan dikeluarkannya cetak biru
kebijaksanaan tentang telekomunikasi di Indonesia tanggal 20 Juli 1999.
Pada tatanan regulasi telah dicapai beberapa perkembangan penting antara lain
dimungkinkannya pern swasta dan masyarakat yang semakin tinggi dalam
pengembangan regulasi yang telah terwujud dalam penetapan tariff dan
interkoneksi standard, dan lain-lain. Pada tatanan penyelenggaraan kondisi
monopoli dan duopoli yang masih menghambat peran swasta dan masyarakat lebih
besar, keadaan ekonomi yang baru tumbuh sangat mempengaruhi daya beli
masyarakat.
Dalam kondisi ini, kelihatannya sasaran pembangunan infrastuktur baik adimarga
informasi, multimedia city akan mengalami penundaan. Namun demikian perlu dicatat
bahwa PT.Telkom telah berupaya membangun lingkar-lingkar adimarga kepulauan dan
infrastruktur multimedia di Jakarta. Infrastruktur informasi telah maju
selangkah dengan beroperasinya satelit Telkom 1.
Salah satu aspek yang penting adalah pemanfaatan secara optimal infrastruktur
yang ada. Tampaknya perlu dikembangkan kebijaksanaan baik pada tingkat
pemerintah maupun pada tingkat penyelenggaraan agar investasi yang telah
dilakukan dapat termanfaatkan dengan berdaya guna dan berhasil guna bagi
berbagai komponen masyarakat, baik pendidikan, layanan kesehatan, pemerintahan
maupun kegiatan bisnis.
2. Aplikasi Telematika
Aplikasi
telematika Indonesia terfokus pada pemberdayaan aparatur negara, pemerkayaan
hidup masyarakat (telemedik, telekarya, pendidikan), penciptaan daya saing
bisnis (perbankan,pos,pariwisata,manfaktur), pembangunan informasi dasar dan
aplikasi telematika perlu dilihat dari tatanan kebijakan, regulasi, dan
penyelenggaraan yang di manfaatkan masyarakat.
Dari sudut pandang kebijakan tampaknya belum terasa perkembangan yang menonjol.
Isu kelembagaan masih banyak diperbincangkan, UU yang terkait dengan atau
tentang telematika (cyber law) masih jauh dari harapan. Beberapa aspek regulasi
yang mendesak, misalnya pengaturan secure transaction, public ke infrastructure
registration authority, electronic payment, certification authority masih belum
dilaksanakan.
Namun, perhatian pada perlindungan hak kekayaan intelektual semakin tinggi dan
upaya untuk memantapkan regulasi semakin mendapat perhatian dari berbagai
pihak. Di lapangan dapat dicatat perkembangan yang menggembirakan dengan
semakin meluasnya homepage, berkembangnya aplikasi seperti E-commerce,
E-Banking, E-Brokerage, dan lain-lai.
Sektor pemerintah nampaknya berkembang lamban karena kendala keuangan dan
sumber daya manusia. Beberapa kelompok usaha seperti PT. Telkom, Indosat, Lippo
e nett, nampaknya semakin giat untuk mengejar ketertinggalan masyarakat kita di
bidang aplikasi. Aplikasi seperti E-government, tele-education, telemedicine masih
dalam taraf mula yang perlu di dorong berbagai pihak.
3. Sumber Daya Telematika
Dalam bidang sumber daya , diarahkan pada pengembangan SDM, industri dalam
negeri, hukum dan perdagangan, serta kultur informasi. Secara umum dirasakan
bahwa SDM di dalam negeri belum memenuhi harapan untuk berperan dalam
pengembangan teknologi yang berubah begitu cepat.
Namun demikian, cukup banyak pula SDM Indonesia di bidang telematika yang
bekerja di luar negeri termasuk di sentra-sentra keunggulan. Usaha berbagai pihak
khusunya sector swasta, nampaknya cukup menggembirakan antara lain
dikembangkannya cyber campus seperti ITB, UPH, dan lain-lain. Yang sangat
memprihatinkan adalah pengembangan industri dalam negeri.
Walaupun berbagi konsep telah cukup lama di bicarakan seperti Hightech Park di
Bandung, Serpong dan lain-lain sampai saat ini belum mencapai kemajuan berarti.
Oleh karena itu perlu dikembangkan kebijaksanaan nasional untuk mendorong
berkembangnya industri dalam negeri di bidang telematika antara lain sistem
insentif.
Dalam mempromosikan visi N21, inisiasi perlu datang dari pemerintah. Namun
secara bertahap dan interaktif, visi ini perlu mengakomodasi kebutuhan yang
khas dari berbagai kelompok masyarakat maupun departemen. Untuk itu
keterlibatan berbagai kelompokmasyarakat dalam merumuskan dan mewujudkan
program-program telematika perlu ditumbuhkembangkan secara berangsur-angsur.
Hal ini pada gilirannya akan membatasi peranan pemerintah, khususnya dalam hal
pengadaan dan pengelolaan kandungan informasi. Control informasi dari
pemerintah justru dipandang sebagai faktor penghambat bagi upaya penyejahteraan
masyarakat melalui jejaring telekomunikasi.
Sumber : http://johandwisatrio.blogspot.com/2013/01/perkembangan-telematika.html